Sabtu, 20 Maret 2010

VBAC

Vaginal Birth After Caesarian ( Melahirkan Normal Setelah Operasi Cesar)


Tidak semua wanita ditakdirkan untuk melahirkan secara normal. Setidaknya pada jaman dimana melahirkan secara cesar menjadi salah satu alternatif yang dipilih baik dengan ada atau tanpa indikasi yang mengharuskan para wanita untuk melahirkan secara cesar.
Di bawah ini hanyalah catatan kecil saja yang mengingatkan saya untuk selalu berusaha semaksimal mungkin dalam segala hal.

Caesarian

Mengingat kembali peristiwa di akhir tahun 2003 dimana saya melahirkan anak laki-laki pertama melalui operasi cesar. Meski operasi ini adalah pilihan terakhir yang diambil, tapi mungkin, secara tidak langsung, sejak didiagnosa melahirkan cesar, di dalam hati dan pikiran saya memang yakin bahwa saya pada akhirnya harus menjalani operasi cesar. Entah mengapa saya percaya benar kalau sebuah sugesti yang tertanam akan berpengaruh pada kenyataan yang kelak terjadi. Seperti halnya yang terjadi pada kehamilan pertama ini.

Pada awal kehamilan, saya berada dibawah pengawasan seorang dokter kandungan wanita yang terkenal di kota Bandung. Kalau tidak salah, sampai usia kandungan sekitar enam bulan. Melalui pemeriksaan USG, letak janin terlihat sungsang, kepala dan kedua kaki berada di atas. Berdasarkan hal ini, dokter kandungan tersebut mengatakan bahwa pada intinya kelahirannya kelak harus dioperasi Caesar. Entah kenapa, dengan dokter yang satu ini rasanya kita tidak bisa tinggal lebih lama berada di dalam ruang prakteknya. Segan, malu, atau melihat cara dokternya berbicara yang seperti terburu-buru atau, mengingat antrian pasien yang panjang di luar sana yang membuat kita ingin segera keluar.

Terus terang saja, didiagnosa seperti itu amat sangat menciutkan nyali dan mungkin saja tanpa disadari tertanam di alam bawah sadar saya bahwa saya memang harus dioperasi Meskipun demikian saya tetap berusaha untuk memutarbalikkan diagnosa tersebut.
Setelah berdiskusi dengan suami, untuk pemeriksaan selanjutnya kami memilih pindah ke dokter kandungan lain. Untungnya, dokter yang satu ini bisa diajak berdiskusi. Meskipun benar letak janinnya masih saja sungsang, tetapi beliau masih bisa menenangkan pasiennya. Menurutnya, masih ada kemungkinan janin berubah posisi. Selanjutnya, saya disarankan untuk sering-sering melakukan posisi seperti sujud beberapa menit lamanya. Usaha lainnya, yaitu beliau mencoba untuk memutar posisi bayi dari luar. Hal tersebut dilakukan sebanyak 2 kali kunjungan dan tidak berhasil.
Alhasil, sampai menginjak bulan ke sembilan, letak janin masih dalam keadaan sungsang seperti semula. Meski demikian, beliau masih menyemangati saya kalau kelahiran normal masih dimungkinkan sepanjang tidak ada indikasi penyulit lainnya, misalnya berat bayi tidak terlalu besar, tidak pecah ketuban dini, kontraksi cukup kuat, dan lain-lain. Sampai saat itu, saya masih berharap dapat melahirkan secara normal.

Seingat saya, hari perkiraan kelahiran anak pertama kurang lebih bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Untungnya, beliau tidak ada rencana bepergian ke luar kota. Sangat melegakan karena saya malas harus berganti dokter lain dan harus mengulang cerita riwayat kehamilan dari awal.

Tibalah hari-H dimana saat itu masih dalam suasana hari raya Idul Fitri (Hari ke-4). Tanggal 1 Desember 2003, jam 10-an pagi saya pergi ke RS Borromeus ditemani suami dan Ibu langsung menuju kamar bersalin. Sampai waktu makan siang, masih bukaan-3. Setelah makan kemudian saya berniat untuk mandi, nah pada saat itulah terasa ada air keluar tak tertahan, ternyata itu yang dinamakan ketuban pecah dini. Langsung saya berbaring dan tidak diijinkan untuk turun dari tempat tidur. Sampai saat itu, saya masih bersikukuh ingin melahirkan normal. Namun demikian, saya juga harus mempersiapkan kemungkinan terburuk untuk menjalankan operasi cesar. Oleh karena itu, saya harus menjalani puasa karena butuh sekitar 6 jam puasa untuk bisa dilaksanakan operasi.

Sampai jam 9-an malam, dokter kandungan masih belum datang, bukaan pun tertahan di angka 7 dan bayi masih jauh dari jalan lahir. Selain itu kontraksinya pun kurang begitu kuat. OMG, rasanya mau marah setiap dilakukan pemeriksaan dalam. Selain sakit, koq ya diobok-obok sih. Akhirnya, dokter datang juga sekitar jam 10-an, dan langsung periksa semuanya. Setelah semua yang saya alami, dokter masih menanyakan apakah saya masih mau mencoba untuk induksi. Oh tidak, saat itu saya sudah angkat tangan untuk mencoba yang namanya induksi apalagi katanya yang namanya rasa sakit akibat suntikan induksi lebih hebat dari rasa sakit normal. Untungnya Ibu dan suami juga mendukung keputusan untuk melahirkan secara cesar (ibuku mantan Bidan dan Guru Bidan lo!).

So, akhirnya saya masuk ke ruang operasi seorang diri ( hiks, ga boleh ditemenin siy). Uuuuuuuuuh, dingin banget itu tempat tidur atau meja operasi ya?, yang pasti terbuat dari bahan metal. Asli dingin, dan ruangannya full AC, tambah dingin aja bikin badan menggigil. Entah gemetar karena takut. Pokoknya setelah dibius total langsung deh tidak ingat atau merasakan apapun. Tahu-tahu, susternya bilang, “Bu, bu, anaknya laki-laki, sekarang Ibu saya bawa ke ruang pemulihan”. Dari ruang pemulihan dipindah lagi ke ruang perawatan dan masih dalam keadaan setengah sadar.

Anak saya lahir sebelum tengah malam, masih tanggal 1 desember 2003, dan karena saya masih belum juga buang angin, baru pada tanggal 2 sore hari akhirnya saya diijinkan makan dan minum. Rasa yang aneh di bagian perut mulai dirasakan dan perlahan-lahan membuat saya tidak berani bangun dari tempat tidur bahkan untuk kekamar mandi sekalipun. Perih dan seperti tertarik ke bagian depan membuat saya benar-benar takut untuk bergerak, bahkan saya minta perawat untuk memandikan saya. Saat itu saya sempat berpikir, bagaimana mungkin ada wanita yang lebih memilih cara melahirkan seperti ini padahal dia bisa melahirkan secara normal, bahkan sampai bisa menentukan tanggal untuk dioperasi. OMG, meski saya harus mengalaminya, setidaknya saya sudah mencoba untuk melalui tahapan lain sebelum akhirnya memutuskan untuk dioperasi. Dalam hal inipun saya masih menganggap bahwa diri saya pengecut karena tidak mau melangkah ke tahap yang mungkin seharusnya dilalui terlebih dahulu (induksi). Memang sih, pada akhirnya sakit yang dirasakan jadi berlipat. Xixixixixi.


Vaginal Birth

Pengalaman di atas cukup membuat saya was was menyambut kehamilan yang kedua.
Namun, berdasarkan pengalaman di atas pula, saya menjadi jauh lebih waspada dan lebih meyakinkan diri untuk melahirkan secara normal.

Sebelum KB dilepas, saya mulai mempersiapkan hati, pikiran serta jasmani. Keinginan untuk melahirkan normal membuat saya seperti haus akan informasi. Pokoknya segala hal yang menyangkut kelahiran normal, terutama setelah sebelumnya melahirkan secara cesar jadi bacaan saya sehari-hari.
Sedapat mungkin saya berjalan kaki beberapa menit di pagi hari sebelum masuk kantor. Semua itu guna mempersiapkan kehamilan yang sehat.

Ternyata, hampir satu tahun lamanya sebelum akhirnya kehamilan kedua itu datang.
Kehamilan kali ini betul-betul terasa tiap tahapannya. Trimester awal yang ditandai dengan morning sick sampai trimester akhir dimana saya seringkali merasa kram di kaki dan mengalami rasa gatal yang luar biasa terutama di daerah perut, pinggul sampai betis, untungnya tidak di daerah muka.
Rasa gatal yang sungguh menyiksa karena bisa muncul tiba-tiba dan saya tidak bisa menahan untuk tidak menggaruknya bahkan kadang sampai berdarah dan meninggalkan bekas yang belum hilang sempurna sampai saat ini.
Letak rumah yang jauh dari tempat kerjapun pada akhirnya tidak bisa saya taklukkan. Lelah luar biasa yang saya rasakan membuat saya pindah untuk sementara waktu ke rumah Ibu yaitu ketika kehamilan memasuki bulan ke-6.

Dokter kandungan kali ini sama dengan dokter yang mengoperasi saya tahun 2003 lalu. Sudah sejak awal pemeriksaan, saya wanti-wanti untuk sebisa mungkin melahirkan secara normal. Dokterpun tidak keberatan karena kondisi kehamilan pertama tidaklah permanen dan sepanjang tidak ada penyulit lainnya. Mengingat riwayat melahirkan secara cesar, maka daftar penyulit pun bertambah dibanding dengan yang belum pernah mengalami operasi cesar. Ketuban pecah dini adalah a big no no dalam kasus ini. Why? Karena kalau pada kondisi normal, setelah ketuban pecah dan bayi sudah ada di jalan lahir biasanya disuntikan semacam penguat kontraksi (induksi). Sedangkan dalam kondisi saya, setiap tahapan harus betul-betul dilalui secara alamiah, artinya tidak boleh diintervensi oleh obat-obatan penguat kontraksi (CMIIW) ataupun lainnya. So, bye bye juga pada rumput fatimah dan yang lain sebagainya.

Selain berusaha menjaga asupan gizi (istilah lain dari makan lahap alias gembul hehehe.), Setiap hari tidak pernah lupa relaksasi sambil memasukan sugesti positif untuk melahirkan secara normal, lancar dan sehat. Dan memasuki bulan ke-8 mulai mengikuti senam hamil. FYI, dari beberapa tempat senam hamil, yang paling lengkap dan informatif (juga enak bubur kacang ijonya dan lumayan bagus bingkisan dari sponsornya) menurut penilaian saya adalah senam hamil di RS Borromeus. Tidak bermaksud promosi karena saya bukan agen yang dibayar, hanya saja, selain senam hamil, diajarkan pula metode relaksasi, hypnobirthing, pemeliharaan PD, cara merawat bayi, dll.


Ternyata hari-H tiba 1 minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tepat sehari sebelum saya cuti melahirkan, yaitu tanggal 13 Oktober 2010, jam 01.00 dini hari, saya sudah merasakan kontraksi yaitu berupa sakit yang menggigit di perut bagian bawah depan. Waktu itu saya masih berpikir untuk pergi ke klinik bersalin di pagi hari saja. Ternyata, kontraksi itu datang lebih sering meskipun belum sampai seperempat jam sekali. Akhirnya, jam 3 pagi, saya, suami dan lagi lagi ditemani ibunda tercinta pergi menuju klinik bersalin Tedja. Sebetulnya saya lebih suka melahirkan di rumah sakit besar dimana sarana dan prasarana medisnya lebih lengkap ketimbang di klinik bersalin. Namun, berhubung sekarang dokter hanya bisa berpraktek di 3 tempat saja, dan pilihannya hanya RSHS dan KB Zr Tedja akhirnya saya memutuskan untuk melahirkan di klinik saja.

Sejak dilakukan pemeriksaan dalam oleh bidan jaga, rasanya bukaan koq ga maju-maju. Rasa sakit yang nyelekit memang tidak begitu kentara kalau saya berbaring miring dan punggung sekitar tulang ekor ditekan-tekan. Tapi posisi ini juga sepertinya berpengaruh pada kemajuan bukaan dan kekuatan kontraksi. Yang saya butuhkan pada saat itu adalah kontraksi yang datang kontinyu dan kuat. So, akhirnya sayapun berjalan-jalan di sekitar klinik. Bolak-balik seperti setrikaan, jika kontraksi datang, saya langsung berhenti dan jongkok atau memegang kursi yang ada. Lama dan kekuatan kontraksinya memang berbeda dibandingkan kalau saya hanya berbaring saja.

Sampai hampir jam 5, bukaan masih bertahan di angka 7. Hwadoooh, lama banget sih masuk ke bukaan 9. Dokter kandunganpun masih sempat membantu pasien melahirkan di kamar sebelah. Selama itu, saya terus berdoa agar dilancarkan.

Kalau pada kehamilan pertama saya tidak sempat merasakan bagaimana tidak tahannya untuk segera mengejan. Nah, kali ini, saya betul-betul merasakan apa itu rasanya tidak BAB berhari2. hahahaahaha, betul2 tidak bisa ditahan untuk tidak mengejan. Pooooool, berasa sudah di ujung tapi tidak bisa dikeluarkan. Ya ampyun, betapa hebatnya ibu yang melahirkan kita.

Mungkin kelahiran inipun cukup sulit, seingat saya, saya mengejan lebih dari 5 kali dengan posisi berbeda-beda., dari mulai posisi setengah berbaring kaki diangkat ke arah dada sambil dipegang kedua tangan, posisi berbaring kaki ditekuk pergelangan kaki dipegang kedua tangan, lalu posisi berbaring sambil miring ke-kiri, dan posisi lainnya yang saya tidak ingat sampai-sampai saya merasakan kram di kaki.

Kuncinya ada pada saat mengejan. Seharusnya setiap datang waktu mengejan (2 x tarikan), tarikan ke-1 jika belum cukup kuat harus dibantu dengan tarikan ke-2. Nah, saya selalu kalah tenaga pada tarikan ke-2, sehingga kepala bayi belum juga bisa keluar. Hingga akhirnya, saya ingat betul kalau pada saat itu yang ada di pikiran saya adalah kesehatan bayi akan terganggu jika terlalu lama berada di jalan lahir, saya pun mengejan sekuat tenaga yang tersisa, bahkan saat bayi keluar dan air ketuban muncrat kemana-mana pun saya masih tetap mengejan, padahal pada saat itu bidan yang mendampingi dokter sudah mengatakan pada saya untuk berhenti mengejan. Alhamdulillah, akhirnya anakku lahir juga beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang.

Rasa sakit karena kontraksi mengalahkan segalanya. Pada saat di-episiotomi waktu bukaan 9 datang, saat bayi keluar, dan pada saat dijahit, sama sekali tidak terasa.

Sayangnya Inisiasi Menyusui Dini tidak bisa dilakukan sampai tuntas. Hanya beberapa menit bayiku diletakkan di atas perut, setelah bergerak sedikit bayiku segera diangkat karena kelihatannya dia membutuhkan oksigen. Mungkin terlalu lama di jalan lahir. Mudah-mudahan tidak berpengaruh apapun pada kesehatannya kelak.

Memang aneh bin ajaib, Kuasa Allah sungguh nyata. Perbedaan nyata yang saya rasakan antara melahirkan dengan operasi dan normal. Melahirkan secara normal memang sudah kodratnya para wanita, dan itu semua sudah diatur sedemikian rupa oleh yang Maha Kuasa. Tidak lama setelah bayi sudah keluar, rasa haus yang amat sangat diobati dengan segelas the manis hangat dilanjutkan dengan makan malam yang nikmat. Lelah luar biasa baru dirasakan ketika dipindahkan ke ruang perawatan. Badan terasa amat lelah tapi hati dan pikiran rasanya lega dan senang.

Manusia memang hanya bisa berusaha, hasilnya ditentukan oleh-Nya. Melahirkan secara Cesar ataupun normal hanyalah pilihan semata dimana tujuan akhirnya adalah melahirkan titipan-Nya yang harus dijaga sebaik mungkin. Saya pribadi mengucap syukur tiada terhingga karena diberi kesempatan merasakan kuasa-Nya dengan jalan yang berbeda.

Semoga kelak kedua anak laki-laki titipan-Mu ini berahlak mulia, membawa keselamatan dunia-akhirat, berguna bagi keluarga, Nusa, Bangsa dan Agama. Amien.

Next: ASIX

Rabu, 17 Desember 2008

Under Progress: Bed Cover Queen Size

Nah, ini sebenernya ketiga kalinya bikin patchwork. Cuma, yang ketiga kali ini dikerjain barengan suhu-ku. Bed cover yang pertama kali bikin cuma ada 8 block doang dan motif patchworknya juga masih sederhana banget (persegi panjang). Patchwork yang kedua, rencananya bikin sarung bantal, tapi blom diterusin alias ga beres. Nah, yang ketiga ini pake kaen katun batik printing dan polos. Masih blom selesai juga. Tunggu tanggal mainnya yah.....

Kamis, 28 Agustus 2008

Under Progress: Sarung Bantal besar dari Batik


Toping sarung bantalnya baru aja selesai disatuin semua potongan kainnya, tapi blom disatuin sama dacron n backing-nya. Coba liat deh....

Lengkapnya nanti ada di blog punya guruku.

Minggu, 24 Agustus 2008

Napak Tilas di Pangandaran

Pangandaran, Agustus 23~24' 2008

Dah lama banget nih ga ke pantai yang satu ini. Kalo ga salah terakhir kali tuh jaman sekolah atau kuliah gitu? lupa...........

Waktu dateng ke Pantai ini, rasanya beda banget deh sama dulu. Rame banget di sepanjang pantai-nya. Tiap ke Pangandaran, paling yang dikunjungi itu-itu juga.

Seperti biasa, penginapan di Pantai Barat, cari sea food di Pantai Timur., cari sepupu (monyet! weleh, mengaku keturunan monyet?) di cagar alam, cari pasir putih bisa nyebrang naek perahu ato cari jalan tembus dari cagar alam. tinggal pilih mau kemana!

Ceritanya kita sekeluarga ikut rombongan yayasan wastukencana yang ngadain darmawisata, so...gretong gitu. Lumayan...

Nyampe di penginapan hari sabtu sore, just a couple hours before sunset.


Sunset

Ga aneh kan liat anak-anak sperti yang kesurupan kalo dah liat pasir dan air. Wuah, ga usah nunggu aba-aba dah langsung jumpalitan. Ga kaya ortunya, malu2 kucing, lama-lama kaya macan liat daging mentah juga.

Paling seneng liat anak2 heboh. Ga peduli badan dan baju kotor. Langsung nyebur!!!
Beneran yah, kalo hati senang, biar angin sekencang apapun, badan anakku fine-fine aja tuh. Sehat wal afiat. Padahal kalo di Bandung, sgala macem kata "jangan" dikeluarin.

Dari bada asar sampe ampir maghrib, tuh anak2 pada manteng terus di pasir.

Ba'da maghrib sih dah kebayang sama sea food aja. Tapi ga jadi berburu, soalnya di penginapan juga makan malem, lauknya sea food juga. Lumayan enak koq.





Sunrise

Nah, keesokan harinya. Jam 5 pagi, dah keluar penginapan. Langsung menuju pantai Timur. Pake becak lima ribu perak doang. Namanya juga Timur, ya kita liat sunrise dong. Asalnya sih kehalang awan dan sempet gerimis juga. Cuma jam enam-an awan dah ga ada, dan si pipi bundar dah keliatan banget. Kebetulan, waktu itu ga ada angin sama-sekali, jadi nongkrong lama2 juga nyaman aja.


Ikan Asin Jambal Roti Cocok

Di Pantai Timur ini emang gudangnya pedagang ikan, baik yang basah ataupun yang diasin. Tinggal pilih aja mau beli di kios yang mana, atau pedagang keliling juga ada. Berhubung sebelum pergi nanya2 dulu sama orang penginapan, jadinya kita ga mau ambil resiko salah ikan. Maklum, yang kita cari ikan asin jambal roti yang kalo digoreng muruluk. Katanya, ada beberapa macem ikan yang kemudian diasin trus dinamain Ikan asin jambal roti, salah satunya ikan caung. Cara bikinnya juga katanya beda. So, rasa dan hasilnya tiap ikan dan proses otomatis beda juga. Nah, yang katanya paling bagus itu namanya ikan asin jambal roti cocok. Dinamain cocok karena cara pembuatannya dicocokkin (apa sih, ga menerangkan banget! dicocokkin apa?)

Untung kita langsung nemuin kiosnya Bpk H Abun, tepat di depan pantai timur. Di situ, selain ikan asin jambal roti, ada juga produk ikan asin/tawar kering lainnya. Jadilah, kita ngeborong, terasi, rebon tawar, krupuk udang, dll. Selesai belanja langsung pulang ke penginapan buat siap2 sarapan pagi dan bermain pasir lagi di pantai barat.

Surfing

Bukan surfing sih. Tapi gogoleran di atas bantalan busa berbentuk papan seluncur sambil munggungin ombak yang dateng dari laut menuju pantai. Duuuuh, ga ada jaim2-nya deh. Mo balita sampe nenek2 juga ada.

Sea Food Lover

Di Pantai Timur, ada sebuah tempat yang didalamnya terdapat beberapa rumah makan seafood (kayaknya sih lebih dari 10 deh!). Setiap rumah makan umumnya menyajikan menu masakan sea food dadakan. Sea food mentahnya bisa dipilih sendiri oleh pembeli. Rata-rata sih sea food yang tersedia: bawal item/putih, udang, kakap, layur, cumi, lobster, kepiting, kuwe, apalagi yah?
kemaren juga ga liat kerang-kerangan. Koq ga ada gurita juga ya? padahal aku pengen banget makan gurita kecil. Makan tentakelnya yang kecil tapi panjang, Sluuuurrrrp. Mmmmm...sedap.

Tinggal pilih juga mau diolah dengan bumbu apa, asam manis yang segar, saos padang, goreng crispy, saos tirem, atau direbus doang. Jangan mimpi nemuin steam boat, ga nemu tuh!

Mahal banget sih kepitingnya. Nyebelin deh, kepiting yang ada telornya aja nyampe 100ribu sekilo, isinya cuma 3 ekor doang. Tapi, berhubung penasaran, akhirnya beli juga. Udang yang sejengkalan panjangnya 60 ribuan sekilo. Cumi 50ribu sekilo, Bawal item 60ribu juga sekilo. Semuanya dah masak. Mmmmmm yummy...

Temporary Tatoo

Pulang dari hunting seafood, nyempetin lagi jalan nyusurin pedagang di sekitar pantai Barat. Anak2 pada pengen ditatoo. Gambarnya keren2 juga, jadi kepengen.
Murah juga, untuk gambar kecil kira2 5-10 cm, ditawarin rp 10.000, tapi turun jadi rp7.500, soalnya yang ditatoonya 3 orang kurcaci. Baru mau digambar, udah ditelfon buat cepet pulang ke penginapan, soalnya Bus dah mau berangkat. Walah....aku ga kebagian di tatoo dong.
Katanya sih tatoo itu tahan sampe 3 minggu, pewarnanya terbuat dari Henna India.
Ceritanya, keukeuh pengen ditatoo, jadi bubuk henanya aku beli dikit buat di Bandung. Keuk...keuk....keukeuh kuadrat

Back to Bandung

Hampir ketinggalan Bus, untungnya barang2 dah diangkutin ke bagasi. Nyampe di kursi Bus, langsung deh pada tidur, mana pada kucel abis kepanasan, ga sempet cuci muka dulu. We're coming back home. See ya....












Rabu, 13 Agustus 2008

Under progress: Permainan Anak Tradisional, In memoriam

Disela-sela makan siang dengan teman kantor, iseng-iseng kita bernostalgia tentang masa kanak-kanak yang dipenuhi dengan berbagai macam permainan tradisional lengkap dengan lagu-lagu yang mengiringi permainan tersebut.
Lucunya, lagu-lagu yang dinyanyikan, liriknya banyak yang beda meski irama dan permainannya sama. Kesimpulan awal sih, mungkin karena tempat asal saya da teman juga yang berbeda.
Walhasil, tadinya mau bernostalgia, jadi ketawa-ketawa denger liriknya yang aneh-aneh banget.
Kami berdua sama-sama lahir tahun 1974, jadi mungkin masa kanak-kanak kami tidak jauh berbeda, lain sekali dengan sekarang.
Seingat saya, jamannya saya SD, pada waktu istirahat, lorong sekolah dan lapangan yang dahulu rasanya amat luas dipenuhi oleh anak-anak yang bermain, entah itu galah asin, gatrik, boy-boyan, sorodot gaplok, bebentengan, sondah, loncat tinggi, bekel dan lain sebagainya. Anak SD sekarang masih banyak yang ngikutin permainan gitu ga ya?

Sambil coba-coba mengingat semua permainan di atas, mari kita coba review satu-persatu, bagi yang mau nambahin atau mengurangi dipersilakan:
1. Galah Asin
Kita memerlukan minimal dua orang untuk bermain galah asin. Satu orang sebagai pemain, dan satu orang lagi yang menjaga garis. Jumlah garis minimal satu yang dibuat di lantai secara horisontal dengan panjang misalnya 2 meter. Pemain harus berhasil melewati garis ini, dan berpindah tempat tanpa kena sentuhan tangan penjaga. kalo kena nantinya jadi penjaga deh.

2. Gatrik


3. Boy-boyan


4. Sorodot gaplok
Nah, untuk permainan yang satu ini, setiap pemain perlu 2 buah batu kali yang ukurannya kira-kira 5 x 7 cm. Batu pertama diletakkan dengan posisi berdiri dengan jarak sekitar 2-3 meteran di muka setiap pemain. BAtu yang kedua diletakkan di atas telapak kaki kanan pemain, tepat di ujung kelima jari yang agak dilengkungkan ke atas untuk menahan batu tersebut.
Dari jarak 3 meter yang telah ditentukan, pemain mulai melangkahkan kaki kiri ke depan. lalu kaki kanan, sambil diayun lalu batu yang ada di atas telapak kaki dilemparkan sampai mengenai batu yang ada di depannya hingga batu tersebut jatuh tergeletak.
Jadi, kita harus bisa mengira-ngira sejauh mana kaki kita harus melangkah, dan dengan kekuatan sebesar apa hingga batu yang terlempar dari kaki kita mampu menjatuhkan batu yang diincar.

5. Bebentengan
Untuk bermain "bebentengan" diperlukan beberapa pecahan genting tanah liat yang setiap kepingannya berukuran sekitar 3~4 x 3~4 cm. Nah, semua keping tersebut disusun secara vertical sehingga menyerupai menara.
Lebih seru kalau pemainnya banyak. Satu orang jadi penjaga, yang lain jadi pemain.
Salah seorang pemain ditunjuk untuk melempar benteng tadi menggunakan bola tenis hingga susunannya bercerai berai. Kemudian, bersama dengan pemain2 lainnya berusaha menyusun kemabi pecahan genting tersebut seperti semula. Namun, hal tersebut tidak semudah yang dikira, karena penjaga akan berusaha menghalanginya dengan cara melempar pemain yang berusaha mendekati dan menyusun genting tadi. Pemain yang kena lemparan bola untuk sementara tidak bisa ikut bermain dan yang pertama kali kena menjadi penjaga benteng berikutnya. Begitu seterusnya.

6. Sondah/Engklek
Sebelum bermain, kita harus menentukan 7 block bujursangkar di atas lantai (kalau menggunakan ubin) sebagai berikut:
- 5 block secara vertical
- 2 block yang terletak di samping kiri dan kanan block vertical ke-4.
Setelah ditentukan, kita juga memerlukan kepingan yang berasal dari pecahan eternit (langit2 rumah). Paling enak kalau pecahannya agak retak, jadi kalau dilempar tidak terlalu licin.
Pemain lebih dari 2 orang. Makin banyak pemain, makin sulit memainkannya.
Setiap pemain secara bergantian mendapat giliran bermain.
Cara bermainnya: Seluruh pemain menyimpan kepingan di block-1, setelah menentukan urutan bermain dengan hompimpa, pemain pertama mulai bermain dengan cara meloncati block-1 yang berisi kepingan menuju block-2 dengan mendaratkan satu kaki saja di atasnya dan tidak boleh mengenai atau melewati garis batas block. Jika kena, berarti harus berhenti bermain dan menunggu giliran berikut.

to be continued
7. Loncat tinggi
8. Bekel
9. Spintrong
10. Congklak
11. Ucing Sumput
12. Kelereng
13. Kasti
14. Ronders
15. Sumpit
16. Any addition?
Wah, ternyata banyak juga permainannya. Dan rata-rata, permainan di atas butuh energi yang banyak untuk mengikutinya.